Kebutuhan Pokok yang Terlupakan
Bismillah.
Kebutuhan Manusia terhadap Ilmu Agama
Kehidupan manusia di muka bumi tidak lepas dari berbagai kebutuhan. Dari sejak kecil kita sudah diajari mengenai hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok manusia di dunia ini. Di antaranya adalah kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), dan lain sebagainya.
Namun, satu hal yang jarang kita dengar dan kita baca adalah kebutuhan pokok yang menjadi asas kebahagiaan dan keselamatan insan, yaitu ilmu agama.
Mengapa kebutuhan manusia kepada ilmu disebut sebagai kebutuhan pokok, bahkan menjadi asas kebahagiaan? Jawabannya ada di dalam firman Allah,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Jawabannya juga ada di dalam firman Allah,
وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Jawabannya juga ada di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Intinya adalah manusia tidak akan bisa hidup dengan benar dan meraih keselamatan di dunia dan di akhirat, kecuali dengan beribadah kepada Allah. Sementara ibadah kepada Allah tidak bisa tidak harus dilandasi dengan ilmu agama. Oleh sebab itu, kebutuhan kepada ilmu agama ini jauh lebih penting dan mendesak daripada kebutuhan yang lainnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu itu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Manusia akan bisa selamat dari kesesatan di dunia dan azab akhirat apabila ia memahami ilmu agama dan mengamalkannya. Hal ini telah diisyaratkan dalam firman Allah,
فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ
“Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)
Ilmu agama ini adalah kebutuhan pokok yang tidak boleh dikesampingkan atau diremehkan. Karenanya Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Sahih-nya dengan judul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan‘. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa setiap ucapan dan perbuatan yang tidak dilandasi dengan ilmu, maka ia akan menyimpang dari kebenaran.
Terlebih lagi setiap kali salat, kita berdoa kepada Allah dalam setiap rakaat meminta hidayah kepada-Nya agar bisa meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Sementara yang dimaksud jalan lurus itu adalah mengenali kebenaran dan mengamalkannya sebagaimana dijelaskan oleh seorang ahli tafsir masa kini, Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya. Hal ini semakin jelas menunjukkan kepada kita bahwa tanpa ilmu, manusia akan terjerumus dalam berbagai penyimpangan dan kesesatan. Oleh sebab itu, setiap hari seusai salat subuh kita diajari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berdoa meminta ilmu yang bermanfaat.
Baca Juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan?
Hakikat Ilmu yang Bermanfaat
Hasan Al-Bashri berkata, “Ahli ilmu itu adalah yang amalnya sesuai dengan ilmunya. Barangsiapa amalnya menyelisihi ilmunya, maka itulah periwayat kabar berita di mana dia mendengar sesuatu lalu dia pun mengatakannya.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 248)
Ada seorang perempuan berkata kepada Asy-Sya’bi, “Wahai orang yang ‘alim/ berilmu, berikanlah fatwa kepadaku.” Maka, beliau pun menjawab, “Sesungguhnya orang yang ‘alim adalah yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)
Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, maka sesungguhnya dia bukanlah seorang yang ‘alim/ berilmu.” Mujahid juga mengatakan, “Sesungguhnya orang yang benar-benar ‘alim ialah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)
Masruq berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.” (lihat Min A’lam As-Salaf, 1: 23)
Imam Al-Barbahari berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu/ wawasan dan bukunya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/ bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22)
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku! Janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579)
Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa menimba ilmu untuk beramal, maka Allah akan berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menimba ilmu bukan untuk beramal, maka semakin banyak ilmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 575-576)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal, namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah Al-Fatihah, hal. 25)
Oleh sebab itu, setiap hari di dalam salat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang diberikan nikmat. Di mana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya, maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu, maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu. Sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/ shirathal mustaqim. (lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 1: 227)
Oleh sebab itu, kita dapati para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang bersemangat untuk menimba ilmu sekaligus mengamalkannya. Tidaklah mereka melewati sekitar sepuluh ayat, melainkan mereka berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Mereka berkata, “Maka kami mempelajari ilmu dan amal secara bersama-sama.” (lihat Al-‘Ilmu, Wasa’iluhu wa Tsimaaruhu oleh Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, hal. 19)
Semoga Allah beri taufik kepada kita semuanya.
Baca Juga:
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel asli: https://muslim.or.id/77314-kebutuhan-pokok-yang-terlupakan.html